Saturday 25 July 2020

Kasih Tahu 'lah, Sartre...

Nggak tahu kenapa hingga dini hari ini jadi terjaga. Setelah melanjutkan dokumen tulisan di laptop yang terbengkalai dari tahun lalu. Dan tak juga selesai malam ini. Bahkan, hanya bertambah sekitar ratusan kata yang terbalut dalam sebuah-dua buah paragraf. Plus revisi minor untuk diksi-diksi jelek tempo hari.

Mungkin karena secara tak sengaja baca artikel soal eksistensial(isme) yang kemudian mengganggu pikiran selama beberapa hari ini. Yang seperti membuat pukulan-pukulan ringan ala petinju di sisi wajah kanan dan kiri. Nggak terlalu sakit, tapi menerus. Sampai keliyengan.

Seusainya pun, hanya ada beberapa inspirasi kalimat pendek yang bisa terlontar di story Instagram. Merangkumnya menjadi kumpulan highlight bertajuk "Cerah Gelap2an". Dilanjutkan dengan setelan lagu Melancholic Bitch yang tak sengaja terputar dari postingan teman. Dan joget-joget lemas mandiri mengikuti bit psychedelic rock-nya, bagaikan mabuk. Kugantikan alkohol yang memang tak kugandrungi dengan hanya nikotin artifisial rasa-rasa, biar nggak terlalu zalim pada diri sendiri. Juga pada lambung disebabkan rutinitas makan yang jelek akhir-akhir ini. 

Sumpah, benar kata Sartre. Juga Camus, dan Beauvoir. Jadi diri sendiri itu menakutkan. Terlalu mengerikan untuk diimplementasi di kehidupan nyata. Agaknya, ini alasan kenapa malam ini jadi menyenangkan.

Memang absurd joget sendirian tengah malam, apalagi di sela adzan berkumandang. Kan bukan adzan beneran, pikirku sambil melirik jarum jam dinding yang belum di angka 4. Itu memang kumandang pertama, seperti di Makkah, untuk membangunkan umat sekitar sebelum bersiap subuhan. Karena sudah siap dari sore, jadi semoga Tuhan memaafkan kelancangan yang menurut pembelaanku nggak terlalu itu. Kan, belum kembali ke realita, lagi-lagi gumamku setengah membujuk pada Tuhan.

Sejujurnya, absurditas lah yang menjadi konstitusi kekuatan dari jab-jab tadi. Kata Sartre, hidup itu absurd - nggak ada tujuan dengan sendirinya dari awal, jadi bikinlah tujuanmu sendiri. Entah yang dimaksudkannya dalam bahasa Indonesia itu benar tujuan, atau makna. Keduanya punya esensi yang saling memberi arti untuk pernyataan itu.

Yang jelas, untuk pemuda baru punya anak hampir setahun yang dari anak-anak berpikir tujuan hidup itu yang penting berbuat baik, ya jelas bimbang. Sebab, tujuan atau makna yang disebut Sartre itu maksudnya: Kamu mau jadi apa? Dengan menjadi demikian apa kamu dan keluargamu minimal bisa hidup? Lebih sejahtera? Cukup untuk modal membesarkan anak? Bahagia? Dan yang agak agung sekaligus klise - bantu orang dan masuk surga?

Sampai sini bibir ini jadi tersenyum sendiri. Entah kenapa, alam bawah sadar saja. Meskipun katanya, Sartre nggak percaya bawah sadar. Doi menekankan hidup sesadar-sadarnya. Bug! Another jab buat jenis individu yang separuh hidupnya bergelut dalam pikiran ini.

Kata Anda, Sartre, jadilah berani untuk melawan keharusan pilihan-pilihan yang bukan menjadi diri otentik. Berani melawan ketakutan yang meluap-luap dalam benak berlandas persepsi sosial. Masalahnya, Anda belum kasih tahu caranya, wahai Sastrawan cum Filsuf!


Ah, sudah ngaji-ngaji.
4:21 AM, biar nggak dikira yang hijau-hijau.

Thursday 12 July 2018

Secuat Renung: Roman Fisiologi

"Bagaimana caranya Seni yang memendam upaya membunuh konstruksi, bisa terus berpasangan dengan si penuh kesumat Logika pada kesemenaan imajinasi di satu ruang yang sama?" dengus Hati membuang pandang pada pasangan otak yang tetap saja romantis itu.

Dari kejauhan, Truncus Cerebri menatap tak bersuara seraya terus memasok kelistrikan hanya untuk membuatnya tetap bergeletar.

Secuat Renung: Pendakian

Tekanan
dan rasa nyaman
adalah gunung
yang sama tinggi
dalam kembara
pendakian syukur.

11:56, 6/7/18.

Wednesday 26 October 2016

Narasi Sehari-Hari: Si Imut yang Langsung Bikin Cemburu

"Ding..! Ding..!"
Bel jam rumahku berbunyi sepuluh kali. Gemanya beresonansi hingga ke teras depan, di mana aku sedang meraih kunci pintu di kantong ransel cokelatku.

"Jam 10 malam," pikirku seraya mengeluarkan benda yang kuinginkan. Kucoba memasukkannya ke lubang kunci, tetapi sinar lampu yang temaram membuat tanganku kesulitan untuk menemukannya. Belum sempat berhasil memasukkan anak kunci, pergelangan kakiku yang beralaskan sandal digerayangi oleh sesuatu.

"Wanjret!" Teriakku terlompat kaget. Sesuatu itu bergerak membuntuti telapak kakiku yang baru saja mendarat di lantai. Begitu sinar lampu taman menampakkan wujudnya, ternyata hanya anak kucing. Aku menghela napas lega. Dari ukurannya, sepertinya berusia belum setahun. Setelah kuperhatikan wajahnya, she's supercute!

Sementara itu si anak kucing mulai menggerayah kaki kiriku, kemudian berguling-guling di sekitarnya sambil 'miaw-miaw' manja. Rambut-rambutnya sangat halus, membuatku merasa geli dibuatnya. Sempat kutahan sejenak, tapi semakin menggelitik. Kuangkat kaki kiriku, eh dia malah memburu yang kanan. Giliran kanan yang diangkat, kaki satunya yang diserbu.

Sempat ku berencana untuk melayang. Berhubung nggak bisa (ya iyalah), akhirnya kulipat lutut merendahkan tubuh, lalu meraih tengkuknya untuk kuelus. Aku pikir, dengan mengelusnya menggunakan tangan akan menghentikan nafsunya kepada kulit kaki mulus-berambutku yang bau.

Sesuatu menghalangi tanganku menyentuh rambutnya yang kecokelatan. Ternyata lehernya terbungkus tali pita putih berhias dua bola bel emas. Memang dari tadi terdengar bel, tapi baru sadar kalau itu bersumber dari kalung pitanya.

"Ooh, sudah ada yang punya toh," pikirku. Sesaat, tiba-tiba terbesit perasaan kecewa. Walaupun sepertinya dia jenis kucing biasa, wajahnya sangat lucu. Suaranya juga kecil banget, tapi terdengar semangat dan cerewet. Rasanya aku jadi agak jealous. Merasa cemburu dengan pemiliknya.

"Eh, kok baper?" Batinku merasa konyol sendiri. Anyway, aku cowok kuliahan usia 23 tahun. Nggak punya riwayat khusus dengan kucing, selain dengan seekor kucing jalanan yang saat aku kelas 3 SD diusir bundaku dari rumah di hari ketiganya karena merasa nggak betah. Bukan kucingnya, tapi bundaku yang nggak betah dengan bau pipis dan pupnya yang juga suka dibuang sembarangan. Walhasil, sejak saat itu nggak pernah ada lagi kucing di rumahku, meskipun ayahku sebenarnya cukup suka. Tapi itulah the power of emak-emak.

Balik lagi, melihat track record perkucingan di masa lalu, seharusnya aku nggak perlu kecewa seperti itu. Setelah agak puas memainkan rambut tengkuknya, sejenak kemudian kuputuskan untuk masuk rumah meninggalkan si anak kucing di teras. Aku berhasil masuk dan menutup pintu sebelum dia sempat mengikuti. Miaw-miaw manjanya kembali merasuk indra pendengaranku dari balik tebalnya pintu.

Tiba-tiba kepikiran, jangan-jangan dia belum makan? Kasihan juga kalau begitu. Tapi, memang aku siapanya? Ketemu aja barusan. Meskipun langsung berbuat agak nggak senonoh, tapi aku bukan siapa-siapanya. Berbekal kegundahan itu, akhirnya aku melangkah pergi ke dalam, coba mengabaikan permintaan miaw-nya untuk mengajakku kembali.

"Sudahlah, kembalilah ke tuanmu," batinku sambil terus berjalan. Melewati jam tinggi ruang tamu bergaya renaisans, aku sudah tidak lagi mendengar suaranya.

Sementara itu, hidungku mulai gatal dan berair. Sepertinya alergi angin dinginku kambuh lagi. Kurogoh kantong tas mengais-ngais obat alergiku. Nggak ketemu. Kuaduk-aduk lagi kantong itu. Nggak ketemu. Sial. Aku harus segera membelinya di apotik 24 jam di dekat rumah.

Tapi, itu juga berarti aku harus kembali bertemu dengan si anak kucing imut itu lagi. Ck, ah.

Monday 14 December 2015


Extended Play: Aforisme is gonna be released early 2016!

Playlist:
1. Degradasi
2. Awan di Bulan November
3. Di Mana Tanah Meninggi (Video: Youtube)
4. Another Day Comes
5. Loneliness in a Lovely Place

EP Preview: Soundcloud

Friday 25 September 2015

(Sinopsis Novel) Telekinesis: Tragedi Terbakarnya Sang Musisi


   Pesulap cerdas nan cemerlang Kaisar Sulaiman kembali terlibat dalam sebuah kasus yang misterius. Zarry, seorang vokalis beken dari band ibukota yang sedang naik daun tiba-tiba tewas terbakar usai turun panggung konser. Hanya Dina si manajer yang melihat tubuh Zarry terbakar hebat di depan mata. Tragedi itu kian janggal ketika Kaisar menemukan sebuah kode yang mengisyaratkan tantangan langsung untuk dirinya dari si pelaku. Di bawah komando Kepala Dit V Tipidter Bareskrim Polri Umam Al-Hakim, Kaisar bersama Dimas sobat kentalnya mencoba memecahkan kasus aneh ini.
   Belum tuntas memeriksa TKP, pemuda bernaluri tajam ini kembali dikejutkan dengan kebakaran yang melanda sebuah perusahaan koran ternama. Parahnya, si Pembakar Berantai kembali memberi kode bahwa malam berikutnya dia akan kembali menebar teror. Hal itu memaksa Kaisar mempertaruhkan nyawa agar bisa menemukan si pelaku. Sayangnya, seorang perempuan justru dikorbankan si Pembakar Berantai di depan mata Kaisar. Pemuda itu semakin naik pitam ketika sang psikopat memiliki kesempatan untuk membakar dirinya, namun malah tersenyum dan berlalu.
   Di sisi lain, Kaisar kembali bertemu Griffin si kucing besar bersayap di mimpinya. Hewan dengan bentuk sama seperti bandul kalung yang ditemukannya tanpa sengaja setengah tahun lalu. Berlatar tempat pegunungan Alpen yang indah nan dingin, hewan mitologi asal Andalusia itu menyempurnakan kemampuan spiritual Kaisar yang sebelumnya masih terhijab. Berkat itu, Kaisar sanggup mengimbangi si Pembakar Berantai yang mampu menghanguskan semua yang disukainya.
   Siapa sebenarnya identitas si Pembakar Berantai? Apa tujuannya? Bagaimana pula kemampuan sesungguhnya sehingga si Pembakar dapat mengobar api begitu mudah? Mampukah Kaisar mengatasi ancaman-ancaman metafisis di luar nalar yang meneror dirinya dan orang-orang di sekelilingnya? Berbekal kelurusan niat, naluri tajam, ketelitian, dan keberanian ekstra, Kaisar sampai pada pertarungan final dengan si Pembakar Berantai di sebuah puncak gedung tinggi. Detik-detik yang mendebarkan!


* * *

   Novel berjudul "Telekinesis: Tragedi Pembakaran Berantai" ini merupakan sekuel dari novel sebelumnya, "Telekinesis: Pertarungan Kekuatan Iblis dan Malaikat". Dengan genre Spiritual Thriller, penulis mengkombinasi alur cerita yang mendebarkan dengan unsur Spiritualisme. Kenapa Spiritual, bukan Fantasi? Bila Fantasi adalah hasil imajinasi yang jauh di awang-awang, Spiritualisme lebih manusiawi dan 'membumi'. Telekinesis adalah contoh konkretnya.
   Telekinesis bukanlah sebuah kemampuan super yang hanya ada di film saja. Kekuatan ini memang eksis pada kehidupan nyata. Telekinesis berasal dari kekuatan pikiran alamiah manusia. Contohnya, ketika dalam kondisi terjepit, seseorang bisa melakukan hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya. Seperti melompati pagar yang terlampau tinggi saat dikejar anjing. Atau, menerima sinyal bahaya entah dari mana datangnya. Pada kisahnya, tenaga dari kemampuan ini dilipatgandakan dengan memanfaatkan energi makhluk dimensi lain sebagai sumber utamanya. Fenomena-fenomena yang sering kita dengar bukan?
   Hal inilah yang diekplorasi penulis dalam dua karya fiksinya ini. Kisahnya semakin berwarna dengan latar belakang tokoh utama yaitu Kaisar yang merupakan seorang pesulap terkenal di kota asalnya, Surabaya. Ayahnya seorang jurnalis tersohor yang meninggal secara janggal di Amerika Serikat saat mengejar seorang pejabat korup. Kaisar tidak beraksi sendirian. Selain ada Dimas si cerdik ceplas-ceplos yang selalu menemaninya, ada sosok peramal seribu wajah bernama Cleo Clairvoyant. Dialah yang selalu mengawasi dan melindungi Kaisar dari jauh dengan kemampuan supranaturalnya.
   Selain unsur hiburan, novel ini memiliki kritik sosio-religius yang cukup tajam. Di antaranya adalah stereotip konvensional mengenai malaikat. Munkar dan Nakir selalu digambarkan duduk santai di pundak kiri dan kanan setiap manusia, membawa buku dan alat tulis untuk mencatat seluruh amalan. Begitu pula Israfil si Pembawa Sangkakala pemanggil hari kiamat. Karena (di benak masyarakat luas) si makhluk cahaya ini begitu nganggur menunggu momen hari akhir, Israfil berinisiatif untuk memberi kontribusi lebih di kehidupan dunia. Dia ingin mencegah Iblis agar tidak semakin semena-mena merusak tatanan hidup manusia. Dari situlah dia menemukan Kaisar yang berhati lurus seperti Nabi Ibrahim, tulus seperti Nabi Muhammad, dan membuatnya berilmu setinggi Nabi Sulaiman!
   Seperti apa kisah lengkapnya? Segera baca "Telekinesis: Pertarungan Kekuatan Iblis dan Malaikat". Sebab, tidak lama lagi sekuelnya akan segera terbit. Akhirul kata, enjoy!

NB: Ini penampakan cover dari Telekinesis: Pertarungan Kekuatan Iblis dan Malaikat saat masuk di koran Jawa Pos 15 Mei 2014 lalu.

Thursday 14 May 2015

Mimpi: Dekonstruksi Alam Tidur pada Dunia Nyata

Halo. Mungkin ini sudah waktunya tidur. Tapi akhirnya penulis memutuskan untuk membuat tulisan yang nggak jauh-jauh dari alam tidak sadar manusia. Mimpi.

Penulis merupakan satu dari sekian milyar manusia yang tidak gemar tidur, tapi suka menikmati alam mimpi. Nggak harus tidur. Bisa lewat mendengarkan lagu, memandangi sejumlah lukisan selama berjam-jam, atau menikmati senja bersama bercangkir-cangkir teh hangat. Bahkan menghabiskan banyak waktu di sebelah kasur ditemani kopi panas, gitar, laptop, tanpa terlalu tergoda untuk membunuh waktu dengan beristirahat. Semua hal itu bisa menerbangkan pikiran jauh melampaui ekspektasi tertinggi kita sekalipun.

Secara kontras, saat zaman sekolah dulu penulis justru sangat menyukai tidur. Mungkin terdengar curcol, tapi dengan tidur rasanya nggak perlu ambil pusing dengan memikirkan beban sebagai murid yang belum memiliki kejelasan masa depan. Tapi sekarang ketika masa depan semakin jelas, tidur menjadi hal yang kurang signifikan. Bahkan menjadi batu sandungan untuk sejumlah aktivitas yang terlalu menarik untuk ditinggalkan. Merasa sepaham? Welcome! :)

Ada yang salah dengan cara berpikir seperti ini? Orang-orang post-modern justru mendukung penuh pemikiran penulis yang nggak mau tunduk pada struktur kebiasaan orang kebanyakan. Orang kebanyakan bisa diartikan sebagai orang-orang strukturalis modern. Tapi mau nggak mau, manusia harus selalu tunduk pada struktur yang berlaku. Kecuali, mampu membangun struktur baru. Dengan kata lain, dekonstruksi kebiasaan.

Bermimpi di siang bolong inilah dekonstruksi kebiasaan yang akhirnya dipilih kebanyakan dari kita. Daydreaming. Suatu kegiatan pemicu hormon dopamin, yang mana hampir semua guru di belahan dunia manapun selalu memarahi muridnya yang ketahuan sedang melakukannya. Padahal, itu merupakan momen di mana kreativitas manusia berlatih secara maksimal. Penulis heran mengapa tidak pernah ada mata pelajaran 'melamun'. Padahal, dari zaman dulu hal-hal besar selalu berawal dari lamunan. Sebut saja lampunya Thomas Alva Edison, teori gravitasi Newton, relativitas waktu Einstein. Bahkan, kenabian Rasul Muhammad yang berawal dari pertapaannya di gua hira'.

Ada yang salah dengan cara berpikir seperti ini? Justru, inilah salah satu kelemahan modernisme. Orang nggak akan bisa berkembang hanya dengan materi bro. Ide-lah yang membuat manusia berkembang. Dan semua itu tercipta dengan bermimpi. Melamun. Mencari ide. Hingga kita termotivasi. Tergerak untuk mengimplementasi mimpi-mimpi kita menjadi kenyataan. Merealisasikan hal-hal yang nggak mungkin terjadi. Kalau cuma merealisasikan hal-hal yang memang bisa terjadi, untuk apa? Kita nggak akan pernah bisa mengalahkan komputer dari segi perhitungan angka. Manusia menjadi manusia kalau bisa bermimpi sebanyak yang dimaui.

Penulis termasuk yang percaya bahwa semakin sering manusia bermimpi, semakin manusia tahu apa yang ingin dilakukannya. Semakin kita tidak menghiraukan mimpi kita, manusia nggak lebih dari alat bagi pemimpi lain untuk menjadikan dunia seperti apa yang diimpikannya.