Wednesday 26 October 2016

Narasi Sehari-Hari: Si Imut yang Langsung Bikin Cemburu

"Ding..! Ding..!"
Bel jam rumahku berbunyi sepuluh kali. Gemanya beresonansi hingga ke teras depan, di mana aku sedang meraih kunci pintu di kantong ransel cokelatku.

"Jam 10 malam," pikirku seraya mengeluarkan benda yang kuinginkan. Kucoba memasukkannya ke lubang kunci, tetapi sinar lampu yang temaram membuat tanganku kesulitan untuk menemukannya. Belum sempat berhasil memasukkan anak kunci, pergelangan kakiku yang beralaskan sandal digerayangi oleh sesuatu.

"Wanjret!" Teriakku terlompat kaget. Sesuatu itu bergerak membuntuti telapak kakiku yang baru saja mendarat di lantai. Begitu sinar lampu taman menampakkan wujudnya, ternyata hanya anak kucing. Aku menghela napas lega. Dari ukurannya, sepertinya berusia belum setahun. Setelah kuperhatikan wajahnya, she's supercute!

Sementara itu si anak kucing mulai menggerayah kaki kiriku, kemudian berguling-guling di sekitarnya sambil 'miaw-miaw' manja. Rambut-rambutnya sangat halus, membuatku merasa geli dibuatnya. Sempat kutahan sejenak, tapi semakin menggelitik. Kuangkat kaki kiriku, eh dia malah memburu yang kanan. Giliran kanan yang diangkat, kaki satunya yang diserbu.

Sempat ku berencana untuk melayang. Berhubung nggak bisa (ya iyalah), akhirnya kulipat lutut merendahkan tubuh, lalu meraih tengkuknya untuk kuelus. Aku pikir, dengan mengelusnya menggunakan tangan akan menghentikan nafsunya kepada kulit kaki mulus-berambutku yang bau.

Sesuatu menghalangi tanganku menyentuh rambutnya yang kecokelatan. Ternyata lehernya terbungkus tali pita putih berhias dua bola bel emas. Memang dari tadi terdengar bel, tapi baru sadar kalau itu bersumber dari kalung pitanya.

"Ooh, sudah ada yang punya toh," pikirku. Sesaat, tiba-tiba terbesit perasaan kecewa. Walaupun sepertinya dia jenis kucing biasa, wajahnya sangat lucu. Suaranya juga kecil banget, tapi terdengar semangat dan cerewet. Rasanya aku jadi agak jealous. Merasa cemburu dengan pemiliknya.

"Eh, kok baper?" Batinku merasa konyol sendiri. Anyway, aku cowok kuliahan usia 23 tahun. Nggak punya riwayat khusus dengan kucing, selain dengan seekor kucing jalanan yang saat aku kelas 3 SD diusir bundaku dari rumah di hari ketiganya karena merasa nggak betah. Bukan kucingnya, tapi bundaku yang nggak betah dengan bau pipis dan pupnya yang juga suka dibuang sembarangan. Walhasil, sejak saat itu nggak pernah ada lagi kucing di rumahku, meskipun ayahku sebenarnya cukup suka. Tapi itulah the power of emak-emak.

Balik lagi, melihat track record perkucingan di masa lalu, seharusnya aku nggak perlu kecewa seperti itu. Setelah agak puas memainkan rambut tengkuknya, sejenak kemudian kuputuskan untuk masuk rumah meninggalkan si anak kucing di teras. Aku berhasil masuk dan menutup pintu sebelum dia sempat mengikuti. Miaw-miaw manjanya kembali merasuk indra pendengaranku dari balik tebalnya pintu.

Tiba-tiba kepikiran, jangan-jangan dia belum makan? Kasihan juga kalau begitu. Tapi, memang aku siapanya? Ketemu aja barusan. Meskipun langsung berbuat agak nggak senonoh, tapi aku bukan siapa-siapanya. Berbekal kegundahan itu, akhirnya aku melangkah pergi ke dalam, coba mengabaikan permintaan miaw-nya untuk mengajakku kembali.

"Sudahlah, kembalilah ke tuanmu," batinku sambil terus berjalan. Melewati jam tinggi ruang tamu bergaya renaisans, aku sudah tidak lagi mendengar suaranya.

Sementara itu, hidungku mulai gatal dan berair. Sepertinya alergi angin dinginku kambuh lagi. Kurogoh kantong tas mengais-ngais obat alergiku. Nggak ketemu. Kuaduk-aduk lagi kantong itu. Nggak ketemu. Sial. Aku harus segera membelinya di apotik 24 jam di dekat rumah.

Tapi, itu juga berarti aku harus kembali bertemu dengan si anak kucing imut itu lagi. Ck, ah.

No comments:

Post a Comment